Jakarta yang menjadi simbol dari surga dalam novel Sisi Tergelap Surga adalah lambang dari kebahagiaan. Ketika “surga” yang kita ketahui biasanya indah dan terang, dalam novel ini Brian Khrisna menggambarkannya menjadi “gelap” dan terasa “tertutup”. Brian Khrisna seolah-olah berusaha menelanjangi sistem sosial melalui penderitaan tokoh-tokoh yang diciptakannya. Sebagaimana sistem yang membuat manusia percaya bahwa penderitaan adalah sebuah harga untuk mendapatkan “surga”.
Di dalam novel Sisi Tergelap Surga, Brian Khrisna menggambarkan Jakarta dalam bentuk yang kotor dan melelahkan.
Kota ini tak kenal libur dalam memeras jatah hidup anak-anaknya. Wangi deterjen dari rumah-rumah papan yang berimpitan menyeruak ke mana-mana, bercampur dengan bau asap rokok, bau tahi kucing, dan bau busuk selokan mampet yang berada tepat di belakang gardu listrik. Hal 27
Realitas kehidupan Jakarta memang tidak seindah mimpi-mimpi masa kecil. Penulis seperti ditampar bolak-balik oleh kenyataan. Meskipun Brian Khrisna tidak menonjolkan tokoh utama seperti cerita pada umumnya, di novel Sisi Tergelap Surga kita menemukan banyaknya tokoh yang hidup berdampingan. Mereka semua saling terhubung dalam benang merah yang disebut kemiskinan.
Novel ini memiliki lebih dari dua puluh orang tokoh dan beragam profesi. Halal dan haramnya pekerjaan bukan lagi menjadi masalah. Mulai dari maling, LC, banci, pemulung, cleaning service, manusia silver, dan badut keliling. Bagi mereka di kampung itu, pagi hari berarti bertahan hidup sekali lagi.
"Tetap jadi lonte saja, Rin. Hidup ini cuma mampir doang terus modar dimakan cacing." Hal 27
"Jangan nyerah, Mas. Hidup mau sebahagia apa juga, ujung-ujungnya pasti berakhir. Begitu juga sebaliknya. Hidup semenderita apa pun, ujung-ujungnya pasti mati juga. Jadi ya jalani aja." Hal 222
Dapat dilihat melalui beberapa kutipan yang penulis ambil dari novel Sisi Tergelap Surga menjelaskan bagaimana sistem sosial menanamkan kesadaran palsu (false consciousness) pada kelas bawah yaitu penderitaan yang mereka alami merupakan hal yang wajar, dan perlawanan tidak akan dapat mengubah apa pun.
Di kota ini, tanah kuburan lebih mahal dari biaya hidup setengah tahun lebih. Orang miskin tidak berhak sakit. Orang miskin tidak boleh mati. Mereka yang hidup tanpa pernah mengenal kata manja, anehnya justru paling sering mengalami kehilangan, diinjak, dan dijatuhkan. Hal 38
Tanpa novel ini pun Jakarta memang memiliki paradoks kelas sosial di dalamnya. Akan tetapi, Brian Khrisna mampu mengemas fenomena-fenomena itu menjadi sebuah buku. Menurut penulis, Brian Khrisna secara blak-blakan menggunakan gaya Bahasa yang terlalu vulgar. Penulis menemukan berbagai kata-kata kasar yang menyangkut perkelaminan disebutkan di sini, berulang kali, tanpa sensor.
Menurut penulis, meskipun gaya Bahasa yang digunakan terasa kasar, hal ini merupakan bentuk kejujuran dari kenyataan yang ada. Brian Khrisna mampu menggiring penulis untuk ikut merasakan bagaimana penderitaan tiap tokoh.
Betul kata orang-orang, beberapa anak memang terlahir beruntung di tengah keluarga yang berkecukupan materi. Sisanya lebih beruntung karena diberi hati dan tulang yang kuat untuk berusaha sendiri. Hal 190
Dalam kutipan tersebut lagi-lagi Brian Khrisna menyindir keras bagaimana kelas sosial yang terjadi di Masyarakat kita. Anak-anak yang terlahir di keluarga kaya seolah sudah mendapatkan tiket surga menuju kebahagiaan sedari awal. Namun, menuju akhir cerita adanya pergeseran makna bahagia yang ingin disampaikan Brian Khrisna.
Jangan jadi orang yang harus bahagia dulu untuk bisa bersyukur. Atau harus susah dulu untuk ingat Tuhan. Hal 290
Kutipan ini memutarbalikkan makna bahagia sebelumnya, seolah ada batas yang kabur antara Bahagia dan sengsara yaitu “rasa Syukur”. Brian Khrisna berusaha menegaskan bahwa materi bukanlah satu-satunya sumber untuk kebahagiaan. Dengan demikian, makna dari “surga” bukanlah tempat atau pun martabat yang bisa dibeli dengan materi, akan tetapi makna “surga” yang berarti kebahagiaan adalah keadaan batin setiap manusia yang menerima baik-buruk hidupnya.
" Joe young "















